Di sebuah perjalanan yang melelahkan, seorang sahabat di masa
Rasulullah mengalami kecelakaan. Kepalanya tertimpa batu, Darah mengucur
dari luka yang sangat serius.
Perjalanan tetap dilanjutkan.
Hingga malam datang menjelang. Jabir, salah seorang pengisah cerita itu
menuturkan, bahwa mereka kemudian tidur pada malam yang sangat dingin
itu, Keesokan harinya, lelaki yang terluka itu bangun. Rupanya semalam
ia bermimpi yang menyebabkan ia harus mandi besar. Segera ia bertanya
kepada kawan-kawannya, adakah ia punya keringanan untuk bertayamum saja
karena luka menganga di kepalanya?
Orang-orang menjelaskan, “Tidak ada keringanan bagi engkau, selama engkau bisa mendapatkan air.”
Maka
lelaki yang terluka itu pun mandi. Ia siram seluruh badannya, tak
terkecuali kepalanya yang terluka. Karena mandi besar memang harus
menyiram seluruh anggota badan. Ternyata luka parah di kepalanya yang
tersiram air itu, mengantarkannya menemui ajal. Lelaki itu meninggal dan
pergi untuk selama-lamanya.
Sekembali ke Madinah, Jabir
mengisahkan kematian lelaki itu kepada Rasulullah. Juga tentang
orang-orang yang memberi jawaban bahwa ia harus tetap mandi dengan
alasan masih bisa mendapatkan air.
Rasulullah marah besar. Bahkan
sangat marah. “Mereka telah membunuh orang itu. Semoga Allah
membinasakan mereka,” begitu reaksi Rasulullah, Lalu ia melanjutkan,
“Mengapa orang-orang itu tidak mau bertanya kalau memang tidak tahu,
karena sesungguhnya penawar kebodohan itu adalah bertanya. Padahal
semestinya lelaki itu cukup bertayamum, dan membungkus bagian lukanya
dengan alas yang keras, lalu mengusap diatasnya dengan air. Baru
kemudian menyiram dan membasahi sisa anggota badannya.”
Sebuah
kematian memang punya waktu dan tempatnya. Juga caranya yang
berbeda-beda. Ini takdir yang sudah tertitah pasti. Tetapi kemarahan
Rasulullah yang sangat pada kasus di atas, menunjukkan betapa tindakan
ceroboh yang menyebabkan kematian orang lain, tetaplah kesalahan. Dan,
itu layak mendapat kecaman.
Secara alur sebab akibat, banyak
kejadian penting dalam hidup ini bermula dari sebuah keputusan ‘sok
tahu’ kita. Padahal kejadian itu menjadi menyejarah di kemudian waktu,
baik maupun buruk, salah maupun benar. Dan, kata kunci dari segala
keputusan kita meski sederhana adalah sebatas mana pengetahuan kita
tentang apa dan mengapa kita membuat keputusan itu.
Orang-orang
itu merasa tahu bahwa lelaki yang luka kepalanya itu harus mandi. Sebuah
pengetahuan yang salah dan terbatas. Lalu mereka bersikap, bahwa tak
ada keringanan untuk tidak mandi. Dan, sebuah sikap merasa tahu telah
menyebabkan kematian yang mengenaskan. Kematian yang menyejarah, ditulis
dalam beribu buku, dikaji dari berbagai sudut pandang, hingga saat ini.
Kajian
terpenting dari kasus ini, ialah bahwa hidup tidak menyisakan banyak
area untuk pengetahuan yang abu-abu, remang-remang atau
setengah-setengah. Sebab hidup harus berjalan dengan mekanisme yang
pasti. Karena-nya, pengetahuan yang setengah-setengah, sulit bisa
dipakai untuk landasan sebuah tatanan hidup, Ia juga tidak akan banyak
menyelasaikan masalah, justru bisa menjadi sumber masalah. Tetapi lebih
buruk dari tidak tahu adalah bersikap ‘sok tahu’ yang bahasa gaulnya
disebut sotoy. Karena sikap ’sok tahu’ hampir selalu menjadi sumber
bencana.
Dalam pengertian seperti ini, kita memahami, mengapa
Rasulullah, secara lebih tegas, dalam kesempatan lain, mengatakan, “Jika
suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah saat
kehancurannya.”
Hidup ini harus ditata dengan keahlian. Sedang
induk keahlian adalah pengetahuan. Orang-orang yang tidak tahu dalam
suatu urusan, tidak boleh merasa tahu. Meski pada saat yang sama ia juga
harus terus meningkatkan pengetahuannya.
Bersikap ’sok tahu’,
secara moral mengandung unsur ‘pengkhianatan’. Ini mungkin terlalu
kejam. Tapi begitulah kenyataannya. Pengkhianatan terhadap diri sendiri.
Pengkhianatan terhadap kapasitas yang sesungguhnya kita miliki. Juga
pengkhianatan kepada pada korban yang meyakini bahwa kita tahu. Akan ada
manipulasi yang mengerikan dari segala sikap ’sok tahu’ dari siapa
saja, padahal dirinya tidak-mengerti. Karenanya sangat beralasan mengapa
Rasulullah begitu marah kepada orang-orang itu. Kecaman Rasulullah,
juga ungkapannya, ‘Semoga Allah membinasakan mereka’ adalah refleksi
mendalam betapa seriusnya permasalahan yang bisa ditimbulkan oleh
orang-orang yang ’sok tahu’. Seserius penjelasannya tentang urusan yang
akan hancur bila ditangani bukan oleh ahlinya.
Ini harus menjadi
perhatian siapapun. Prinsip ini juga berlaku dalam segala sisi kehidupan
dan dalam segala disiplin pengetahuan. Setiap kecerobohan akan
melahirkan bencana. Dalam bidang syari’at Islam, orang-orang yang ’sok
tahu’ dan dengan mudah mengumbar fatwa halal haram, bisa menyebabkan
terjerumusnya orang lain kepada kesalahan ideologis dan hukum yang
sangat fatal.
Karenannya, para ulama salaf mencela sebagian ahli
ilmu di zamannya yang tergesa-gesa menetapkan fatwa tanpa pertimbangan
yang matang dan meyakinkan. “Sesungguhnya seorang di antara kalian
memberikan fatwa tentang suatu masalah yang andaikata disampaikan kepada
Umar tentu ia mengumpulkan ahli Badar untuk itu.” Sebagian yang lain
mengatakan, “Orang yang paling berani berfatwa di antara kalian adalah
orang yang paling berani masuk neraka.”
Pada jaman yang terus
berkembang, 3 penyakit merasa tahu punya tempat salurannya yang luar
biasa. Seperti dunia pengamat dan dunia politisi, misalnya. Karena untuk
dua profesi ini, pengetahuan, dalam batas tertentu, cukup diwadahi
dengan ucapan dan retorika bicara.
Padahal hidup adalah dunia
nyata, bukan dunia omongan yang berbusa-busa. Disinilah mengapa, orang
yang pandai bicara belum tentu pandai bekerja. Karena pengetahuan, akan
menemukan pembenarannya di alam yang sesungguhnya: alam kerja nyata.
Dalam
sisi kehidupan lain yang lebih berdimensi sosial, kecerobohan dan sikap
’sok tahu’ bisa membunuh tidak saja satu orang yang luka kepalanya.
Seperti sebuah definisi yang salah tentang terorisme, dari orang-orang
kerdil dan sok tahu, misalnya, telah membunuh ribuan orang diberbagai
belahan dunia, serta mengebiri jutaan lainnya. Sementara, di tempat yang
lain, orang harus berjibaku dengan nasibnya yang gelap, akibat ulah
orang-orang hidup dengan pengetahuan dan keahlian yang ‘ala kadarnya’.
Di
tempat lain, sikap sok tahu mendapatkan ramuan penghancur terhebatnya,
ketika ia bertemu dengan kekuasaan. Maka penguasa-penguasa yang bodoh,
dalam level kekuasaan sekecil apapun akan cenderung otoriter dan ’sok
tahu’. Karena itu merupakan cara utama untuk menutupi kedunguannya.
Dalam
konteks keimanan, bila Allah mengaitkan kapasitas pengetahuan dan ilmu
seseorang dengan kemampuan untuk takut kepada-Nya, maka sudah barang
tentu kebalikannya, orang-orang yang bodoh dan miskin pengetahuan,
berpeluang besar melakukan dosa dan maksiat kepada-Nya. Terlebih bila
mereka bersikap pura-pura tahu atau merasa tahu.
Ibnu Qoyyim
berkata, “Dosa itu dipagari oleh dua kebodohan. Bodoh terhadap hakikat
sebab-sebab yang bisa memalingkannya, dan bodoh akan hakikat kerusakan
yang diakibatkannya. Dari tiap kebodohan itu di bawahnya terdapat
kebodohan-kebodohan yang banyak. Maka, Allah tidak dimaksiati kecuali
dengan kebodohan dan tidak ditaati kecuali dengan ilmu.”
Tidaklah
aib berkata tidak tahu. Suatu hari, Masruq dan beberapa orang lainnya
masuk ke rumah Abdullah bin Mas’ud. Kepada mereka Abdullah bin Mas’ud
berkata, “Wahai umat manusia, Sesiapa yang mengetahui tentang suatu
perkara, hendaklah ia menerangkannya. Dan sesiapa yang tidak
mengetahuinya maka hendaklah dia berkata, ‘Allah lebih mengetahui.’
Kerana berkata demikian itu (Allah lebih mengetahui) tentang sesuatu
perkara yang tidak diketahui adalah termasuk dari ilmu.”
Orang-orang
yang ’sok tahu’ tidak akan sama dengan orang-orang yang tidak tahu,
meski keduanya sama sama tidak tahu. Perbedaan utamanya seringkali
terletak pada bencana yang diakibatkannya. Hidup memang makin
membutuhkan keahlian spesial. Tetapi jujur atas ketidaktahuan adalah
pelengkap yang harus diambil dari segala keahlian. Tidaklah aib berkata
tidak tahu. Ini bukan sekadar sudut pandang moral, tapi juga bagian
penting dari menjauhi bencana dan menghindari malapetaka. Agar tidak ada
orang yang mati begitu saja, hanya karena ulah orang-orang yang ’sok
tahu’. Agar juga tak ada yang terlunta-lunta dalam sengsara, karena
kecerobohan orang-orang yang tak mengerti apa-apa tapi merasa tahu
segala-galanya.
Jangan sok tahu. Dan, jangan sotoy.
Wallahu’alam
Sumber : gggg
Di sebuah perjalanan yang melelahkan, seorang sahabat di masa
Rasulullah mengalami kecelakaan. Kepalanya tertimpa batu, Darah mengucur
dari luka yang sangat serius.Perjalanan tetap dilanjutkan.
Hingga malam datang menjelang. Jabir, salah seorang pengisah cerita itu
menuturkan, bahwa mereka kemudian tidur pada malam yang sangat dingin
itu, Keesokan harinya, lelaki yang terluka itu bangun. Rupanya semalam
ia bermimpi yang menyebabkan ia harus mandi besar. Segera ia bertanya
kepada kawan-kawannya, adakah ia punya keringanan untuk bertayamum saja
karena luka menganga di kepalanya?
Orang-orang menjelaskan, “Tidak ada keringanan bagi engkau, selama engkau bisa mendapatkan air.”
Maka
lelaki yang terluka itu pun mandi. Ia siram seluruh badannya, tak
terkecuali kepalanya yang terluka. Karena mandi besar memang harus
menyiram seluruh anggota badan. Ternyata luka parah di kepalanya yang
tersiram air itu, mengantarkannya menemui ajal. Lelaki itu meninggal dan
pergi untuk selama-lamanya.
Sekembali ke Madinah, Jabir
mengisahkan kematian lelaki itu kepada Rasulullah. Juga tentang
orang-orang yang memberi jawaban bahwa ia harus tetap mandi dengan
alasan masih bisa mendapatkan air.
Rasulullah marah besar. Bahkan
sangat marah. “Mereka telah membunuh orang itu. Semoga Allah
membinasakan mereka,” begitu reaksi Rasulullah, Lalu ia melanjutkan,
“Mengapa orang-orang itu tidak mau bertanya kalau memang tidak tahu,
karena sesungguhnya penawar kebodohan itu adalah bertanya. Padahal
semestinya lelaki itu cukup bertayamum, dan membungkus bagian lukanya
dengan alas yang keras, lalu mengusap diatasnya dengan air. Baru
kemudian menyiram dan membasahi sisa anggota badannya.”
Sebuah
kematian memang punya waktu dan tempatnya. Juga caranya yang
berbeda-beda. Ini takdir yang sudah tertitah pasti. Tetapi kemarahan
Rasulullah yang sangat pada kasus di atas, menunjukkan betapa tindakan
ceroboh yang menyebabkan kematian orang lain, tetaplah kesalahan. Dan,
itu layak mendapat kecaman.
Secara alur sebab akibat, banyak
kejadian penting dalam hidup ini bermula dari sebuah keputusan ‘sok
tahu’ kita. Padahal kejadian itu menjadi menyejarah di kemudian waktu,
baik maupun buruk, salah maupun benar. Dan, kata kunci dari segala
keputusan kita meski sederhana adalah sebatas mana pengetahuan kita
tentang apa dan mengapa kita membuat keputusan itu.
Orang-orang
itu merasa tahu bahwa lelaki yang luka kepalanya itu harus mandi. Sebuah
pengetahuan yang salah dan terbatas. Lalu mereka bersikap, bahwa tak
ada keringanan untuk tidak mandi. Dan, sebuah sikap merasa tahu telah
menyebabkan kematian yang mengenaskan. Kematian yang menyejarah, ditulis
dalam beribu buku, dikaji dari berbagai sudut pandang, hingga saat ini.
Kajian
terpenting dari kasus ini, ialah bahwa hidup tidak menyisakan banyak
area untuk pengetahuan yang abu-abu, remang-remang atau
setengah-setengah. Sebab hidup harus berjalan dengan mekanisme yang
pasti. Karena-nya, pengetahuan yang setengah-setengah, sulit bisa
dipakai untuk landasan sebuah tatanan hidup, Ia juga tidak akan banyak
menyelasaikan masalah, justru bisa menjadi sumber masalah. Tetapi lebih
buruk dari tidak tahu adalah bersikap ‘sok tahu’ yang bahasa gaulnya
disebut sotoy. Karena sikap ’sok tahu’ hampir selalu menjadi sumber
bencana.
Dalam pengertian seperti ini, kita memahami, mengapa
Rasulullah, secara lebih tegas, dalam kesempatan lain, mengatakan, “Jika
suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah saat
kehancurannya.”
Hidup ini harus ditata dengan keahlian. Sedang
induk keahlian adalah pengetahuan. Orang-orang yang tidak tahu dalam
suatu urusan, tidak boleh merasa tahu. Meski pada saat yang sama ia juga
harus terus meningkatkan pengetahuannya.
Bersikap ’sok tahu’,
secara moral mengandung unsur ‘pengkhianatan’. Ini mungkin terlalu
kejam. Tapi begitulah kenyataannya. Pengkhianatan terhadap diri sendiri.
Pengkhianatan terhadap kapasitas yang sesungguhnya kita miliki. Juga
pengkhianatan kepada pada korban yang meyakini bahwa kita tahu. Akan ada
manipulasi yang mengerikan dari segala sikap ’sok tahu’ dari siapa
saja, padahal dirinya tidak-mengerti. Karenanya sangat beralasan mengapa
Rasulullah begitu marah kepada orang-orang itu. Kecaman Rasulullah,
juga ungkapannya, ‘Semoga Allah membinasakan mereka’ adalah refleksi
mendalam betapa seriusnya permasalahan yang bisa ditimbulkan oleh
orang-orang yang ’sok tahu’. Seserius penjelasannya tentang urusan yang
akan hancur bila ditangani bukan oleh ahlinya.
Ini harus menjadi
perhatian siapapun. Prinsip ini juga berlaku dalam segala sisi kehidupan
dan dalam segala disiplin pengetahuan. Setiap kecerobohan akan
melahirkan bencana. Dalam bidang syari’at Islam, orang-orang yang ’sok
tahu’ dan dengan mudah mengumbar fatwa halal haram, bisa menyebabkan
terjerumusnya orang lain kepada kesalahan ideologis dan hukum yang
sangat fatal.
Karenannya, para ulama salaf mencela sebagian ahli
ilmu di zamannya yang tergesa-gesa menetapkan fatwa tanpa pertimbangan
yang matang dan meyakinkan. “Sesungguhnya seorang di antara kalian
memberikan fatwa tentang suatu masalah yang andaikata disampaikan kepada
Umar tentu ia mengumpulkan ahli Badar untuk itu.” Sebagian yang lain
mengatakan, “Orang yang paling berani berfatwa di antara kalian adalah
orang yang paling berani masuk neraka.”
Pada jaman yang terus
berkembang, 3 penyakit merasa tahu punya tempat salurannya yang luar
biasa. Seperti dunia pengamat dan dunia politisi, misalnya. Karena untuk
dua profesi ini, pengetahuan, dalam batas tertentu, cukup diwadahi
dengan ucapan dan retorika bicara.
Padahal hidup adalah dunia
nyata, bukan dunia omongan yang berbusa-busa. Disinilah mengapa, orang
yang pandai bicara belum tentu pandai bekerja. Karena pengetahuan, akan
menemukan pembenarannya di alam yang sesungguhnya: alam kerja nyata.
Dalam
sisi kehidupan lain yang lebih berdimensi sosial, kecerobohan dan sikap
’sok tahu’ bisa membunuh tidak saja satu orang yang luka kepalanya.
Seperti sebuah definisi yang salah tentang terorisme, dari orang-orang
kerdil dan sok tahu, misalnya, telah membunuh ribuan orang diberbagai
belahan dunia, serta mengebiri jutaan lainnya. Sementara, di tempat yang
lain, orang harus berjibaku dengan nasibnya yang gelap, akibat ulah
orang-orang hidup dengan pengetahuan dan keahlian yang ‘ala kadarnya’.
Di
tempat lain, sikap sok tahu mendapatkan ramuan penghancur terhebatnya,
ketika ia bertemu dengan kekuasaan. Maka penguasa-penguasa yang bodoh,
dalam level kekuasaan sekecil apapun akan cenderung otoriter dan ’sok
tahu’. Karena itu merupakan cara utama untuk menutupi kedunguannya.
Dalam
konteks keimanan, bila Allah mengaitkan kapasitas pengetahuan dan ilmu
seseorang dengan kemampuan untuk takut kepada-Nya, maka sudah barang
tentu kebalikannya, orang-orang yang bodoh dan miskin pengetahuan,
berpeluang besar melakukan dosa dan maksiat kepada-Nya. Terlebih bila
mereka bersikap pura-pura tahu atau merasa tahu.
Ibnu Qoyyim
berkata, “Dosa itu dipagari oleh dua kebodohan. Bodoh terhadap hakikat
sebab-sebab yang bisa memalingkannya, dan bodoh akan hakikat kerusakan
yang diakibatkannya. Dari tiap kebodohan itu di bawahnya terdapat
kebodohan-kebodohan yang banyak. Maka, Allah tidak dimaksiati kecuali
dengan kebodohan dan tidak ditaati kecuali dengan ilmu.”
Tidaklah
aib berkata tidak tahu. Suatu hari, Masruq dan beberapa orang lainnya
masuk ke rumah Abdullah bin Mas’ud. Kepada mereka Abdullah bin Mas’ud
berkata, “Wahai umat manusia, Sesiapa yang mengetahui tentang suatu
perkara, hendaklah ia menerangkannya. Dan sesiapa yang tidak
mengetahuinya maka hendaklah dia berkata, ‘Allah lebih mengetahui.’
Kerana berkata demikian itu (Allah lebih mengetahui) tentang sesuatu
perkara yang tidak diketahui adalah termasuk dari ilmu.”
Orang-orang
yang ’sok tahu’ tidak akan sama dengan orang-orang yang tidak tahu,
meski keduanya sama sama tidak tahu. Perbedaan utamanya seringkali
terletak pada bencana yang diakibatkannya. Hidup memang makin
membutuhkan keahlian spesial. Tetapi jujur atas ketidaktahuan adalah
pelengkap yang harus diambil dari segala keahlian. Tidaklah aib berkata
tidak tahu. Ini bukan sekadar sudut pandang moral, tapi juga bagian
penting dari menjauhi bencana dan menghindari malapetaka. Agar tidak ada
orang yang mati begitu saja, hanya karena ulah orang-orang yang ’sok
tahu’. Agar juga tak ada yang terlunta-lunta dalam sengsara, karena
kecerobohan orang-orang yang tak mengerti apa-apa tapi merasa tahu
segala-galanya.
Jangan sok tahu. Dan, jangan sotoy.
Wallahu’alam
Sumber : www.the-az.com