Ada sebuah cerita tentang betapa jeleknya sikap seorang Muslim yang
menghina saudaranya yang Muslim. Cerita ini dikisahkan oleh Husein
Mazhairi dalam bukunya Jihad an-Nafs. Ada seorang wanita tua pergi
menemui dokter.Dia berkata kepada dokter, “Kertas resep yang
telah anda berikan kepada saya telah saya rebus dan saya minum, akan
tetapi kesehatan saya belum juga pulih.” Wanita tua itu tidak mengerti
bahwa kertas resep itu harusnya untuk menebus obat di apotik bukannya
direbus dan diminumnya.
Dokter itu
kemudian berkata kepadanya, “Betapa ruginya roti yang diberikan kepada
anda oleh suami anda.” Lalu dokter itu pun kembali menuliskan resep, dan
menyuruh wanita desa itu pergi ke apotik untuk menebus obat dan
menggunakannya, agar penyakitnya sembuh.” Kemudian tiba giliran sahabat
Husein Mazhairi, sudah tidak ada orang lain selain dia dan dokter.
Ia
berkata kepada dokter, “Wahai dokter, apa yang anda telah perbuat hari
ini?” Dokter itu bertanya, “Apa yang telah saya lakukan?” Ia berkata
lagi, “Anda tidak hanya telah melakukan satu dosa, melainkan Anda telah
melakukan banyak dosa. Dosa anda yang pertama adalah memperolok seorang
Muslim. Dan jika seorang Muslim memperolok seorang Muslim lainnya, serta
menjatuhkan harga dirinya, maka dosa yang dilakukannya itu sungguh
besar sekali.”
Kemudian ia melanjutkan perkataannya, “Adapun dosa
yang kedua ialah anda telah menyebabkan orang lain menertawakan dan
melecehkan wanita desa itu, sehingga dia merasa malu. Jika anda tidak
mengeluarkan kata-kata itu maka orang-orang tidak akan
memperolok-olokannya.
Adapun dosa anda yang ketiga adalah anda
telah berdusta manakala anda mengatakan, ‘Betapa ruginya roti yang
diberikan kepada anda oleh suami anda.’ Perkataan ini adalah dusta.
Wanita ini tidak tahu apa yang harus dia lakukan terhadap resep obat.
Darimana anda tahu bahwa dia bukan seorang istri dan ibu rumah tangga
yang saleh? Dia adalah seorang istri dan ibu rumah tangga yang saleh.
Oleh karena itu, perkataan anda yang berbunyi ‘Betapa ruginya roti yang
diberikan kepada anda oleh suami anda’ adalah perkataan dusta.”
Dari
cerita itu kita dapat melihat betapa perbuatan yang tampaknya kecil
ternyata telah mengakibat dosa yang besar. Allah berfirman, “Maka
jauhilah olehmu berhala yang najis itu dan jauhilah olehmu
perkataan-perkataan dusta.” (QS. al-Hajj:30) Hikmah dari cerita ini
salah satunya adalah bahwa kita harus mengawasi tingkah laku kita.
Inilah yang membedakan antara orang yang bodoh dan yang berakal. Seorang
yang berakal adalah orang yang berpikir terlebih dahulu baru kemudian
berbicara; sementara orang yang bodoh adalah orang yang berbicara
terlebih dahulu baru kemudian berpikir.
Perilaku seorang Muslim
dalam bertindak hendaknya dilakukan dengan berpikir dulu baru kemudian
berbicara. Misalnya anda adalah seorang guru, dan kemudian anda
berbicara di dalam kelas yang mendatangkan musibah. Perkataan yang anda
katakan itu bisa menimbulkan kekacauan pada diri seseorang dan
mendatangkan berbagai musibah. Perkataan anda itu pada hakikatnya telah
membunuh anak-anak murid. Karena, perkataan anda itu telah merusak
kepribadiannya yang ini jauh lebih buruk dibandingkan pembunuhan
jasmani.
Ada sebuah kisah yang patut kita simak bahwa dengan tidak
berdusta akan berdampak pada kebaikan diri. Ketika Syaikh Abdul Kadir,
tokoh sufi terkenal, berusia 18 tahun, ia meminta izin kepada ibunya
merantau ke Baghdad untuk menuntut ilmu agama. Ibunya tidak menghalangi
cita-cita Abdul Kadir meskipun ia keberatan melepaskan anaknya pergi
jauh sendirian. Sebelum pergi ibunya berpesan supaya jangan berkata
bohong dalam keadaan apapun juga. Ibunya membekalkan uang 40 dirham dan
dijahit di dalam pakaian Abdul Kadir. Sesudah itu ibunya melepaskan
Abdul kadir pergi bersama-sama satu rombongan yang kebetulan hendak
menuju ke Baghdad.
Dalam perjalanan, mereka telah diserang oleh
para penyamun. Seluruh harta kafilah tersebut dirampas, tetapi penyamun
tidak mengusik Abdul Kadir karena menyangka dia tidak mempunyai apa-apa.
Salah seorang perompak bertanya Abdul Kadir apa yang dia punya. Abdul
Kadir menerangkan dia ada uang 40 dirham di dalam pakaiannya. Penyamun
itu kemudian melaporkan kepada ketuanya. Pakaian Abdul Kadir dipotong
dan didapati ada uang sebagaimana yang dikatakannya.
Pimpinan
penyamun bertanya kenapa Abdul Kadir berkata benar walaupun diketahui
uangnya akan dirampas? Abdul Kadir menerangkan bahwa dia telah berjanji
kepada ibunya supaya tidak berbicara bohong walau apa pun yang terjadi.
Ketika mendengar Abdul Kadir berbicara begitu, ketua penyamun menangis
dan menginsyafi kesalahannya. Sedangkan Abdul Kadir yang kecil tidak
mengingkari kata-kata ibunya betapa dia yang telah melanggar perintah
Allah sepanjang hidupnya. Pimpinan penyamun bersumpah tidak akan
merompak lagi. Dia bertaubat di hadapan Abdul Kadir diikuti oleh
pengikut-pengikutnya.
Merebaknya kedustaan dan langkanya kejujuran
inilah yang menyebabkan bangsa Indonesia terjerambah dalam mega
permasalahan sampai sekarang. Dewasa ini ketidakjujuran dalam beragam
bentuknya nyaris dapat ditemui pada semua lapisan masyarakat dan pada
semua dimensi kehidupan: politik, sosial, ekonomi, atau pendidikan.
Dalam
kehidupan politik para politisi lebih terfokus pada perebutan
kekuasaan, terutama menjelang Pemilu 2004 daripada mengembangkan
kepedulian untuk bersama-sama memperbaiki situasi negara dan bangsa.
Suara lantang mereka saat kampanye pemilu lalu bahwa mereka akan
memperjuangkan nasib rakyat belum dibuktikan secara serius dan nyata
sampai kini. Pada kehidupan sosial, ketidakjujuran juga telah menjadi
gejala fenomenal. Kesepakatan untuk hidup damai antar-etnis,
antar-agama, dan sejenisnya lebih merupakan sekadar retorika yang tidak
didukung kejujuran dan ketulusan hati. Akibatnya, konflik terus
berkembang dan kehidupan kian memanas.
Aspek kehidupan lain,
seperti pendidikan dan ekonomi, menunjukkan secara jelas kejujuran belum
dijadikan landasan mengembangkan kependidikan atau aspek yang bersifat
ekonomi. Pendidikan yang berjalan sejauh ini lebih terkesan formalistik
ketimbang sebagai proses transformatif. Pendidikan masih belum mampu
mengakomodasi eksistensi manusia seutuhnya.
Ekonomi masih bersifat
pembangunan kapitalistik yang hanya “membesarkan” sebagian kecil elite
bangsa. Pendidikan rakyat atau ekonomi kerakyatan hanya gaung yang belum
ada wujudnya. Semua itu mengungkapkan, kebohongan atau kemunafikan
telah mendominasi-sampai derajat tertentu-kehidupan bangsa. Sedangkan
kejujuran dan sebangsanya kian terpinggirkan dan menjadi barang yang
hampir langka bagi “bangsa besar” ini.
Janji-janji muluk para
politisi merupakan kedustaan jika mereka tidak menepatinya. Kita sebagai
Muslim harus hati-hati di dalam perkataannya dengan berpikir terlebih
dahulu, baru kemudian berbicara. Karena jika kita melukai perasaan orang
lain maka kita akan kehilangan kecintaan dari hati-hati manusia, dan
menjadi orang yang tidak disukai oleh masyarakat.
Di sinilah perang
nilai-nilai agama perlu didekati kembali, dipahami, dan diaplikasikan
secara utuh. Agama tidak dapat dijadikan sebagai wahana penyelamat
manusia di alam eskatalogis semata. Agama perlu dijadikan moralitas
kehidupan yang dapat menyelamatkan seluruh umat manusia di dunia dari
kehancuran dan kebiadaban. Salah satunya adalah menegakkan sifat
kejujuran, yang merupakan buah agama dari nilai-nilai tasawuf yang
diajarkan para sufi sejati.
Dalam buku yang sama Husain Mazhairi
menceritakan pula sebuah riwayat tentang seorang pemuda yang meninggal
dunia. Kemudian jenazahnya dimandikan, dikafankan dan dimakamkan oleh
Rasulullah saw. Setelah orang-orang meletakkan jenazah pemuda itu di
dalam kubur, ibunya datang ke kuburannya. Lalu ibunya berkata, “Wahai
anakku, sebelum ini saya bersedih atas kematianmu. Akan tetapi sekarang,
setelah saya menyaksikan Rasulullah saw sendiri yang menguburkan kamu
maka saya pun tidak bersedih hati lagi. Ketahuilah olehmu, bahwa kamu
adalah orang yang berbahagia.”
Ketika mendengar perkataan itu
Rasulullah saw tidak mengatakan sepatah kata pun. Setelah itu ibunya pun
pulang. Rasulullah berkata, “Sesungguhnya lubang kubur menghimpitnya
dengan himpitan yang mematahkan tulang-tulang dadanya.” Para sahabat
berkata, “Ya Rasulullah, dia adalah seorang pemuda yang baik dan
istiqamah.” Rasulullah berkata, “Benar, akan tetapi pada dirinya banyak
terdapat perkataan yang tidak perlu. Perkataan yang tidak perlu adalah
perkataan yang dikatakan oleh seseorang yang mana perkataan itu tidak
ada manfaatnya sama sekali, baik di dunia maupun di akhirat.
Sesungguhnya hasil pertama yang diperoleh dari perkataan yang seperti
ini ialah himpitan kubur. Akan tetapi pengaruh ini adalah pengaruh yang
bersifat wadh’i (pengaruh yang diletakkan karena suatu hal).
Ada
peribahasa yang terkenal di kalangan masyarakat umum yang mengatakan
“Perkataan benar yang tampak seperti perkataan dusta jauh lebih buruk
daripada perkataan dusta yang tampak seperti perkataan benar.” Tidak
demikan, sebenarnya kita harus mengatakan bahwa keduanya itu buruk.
Seseorang berkata dusta dengan tujuan supaya manusia membenarkannya.
Sungguh ini merupakan perbuatan yang buruk dan merupakan dosa besar.
Sekalipun juga seorang suami yang berdusta di hadapan istrinya, atau
sebaliknya. Demikian pula manakala seseorang berbicara benar, akan
tetapi orang menolak perkataannya. Karena itu dia harus berbicara dalam
bentuk yang dapat dipahami oleh akal.
Namun terkadang dalam
kenyataan akal kalah dengan otot dan uang. Ini dapat kita lihat di
keseharian kehidupan kita. Dalam gedung-gedung terhormat sering terdapat
politik dagang sapi, sehingga mereka tidak menempatkan kepentingan
masyarakat banyak di atas kepentingan pribadi dan kelompoknya. Sungguh
mereka telah berdusta terhadap rakyatnya.
Dalam banyak riwayat
dikatakan, sengatan ini (kata-kata yang melukai perasaan orang lain
karena berdusta ) akan berubah menjadi kalajengking, ular berbisa dan
serigala yang mengigit manusia di alam kubur dan juga di padang Masyhar
dan neraka Jahanam. Sebagaimana perkataan Rumi dalam Matsnawi yang
berbunyi, ” Dengan perantaraan sengatan lidah anda maka anda
mempersiapkan serigala-serigala yang akan mengigit anda.”
Kita
akhiri tulisan ini dengan sebuah doa: Ya Allah, dengan kemuliaan dan
keluhuran-Mu, karuniakanlah kepada kami segenap kesadaran, sehingga kami
berhati-hati di dalam perkataan kami, niat kami dan tingkah laku kami.
Berikanlah taufik kepada kami untuk bisa taat dan beribadah kepada-Mu,
serta mampu meninggalkan maksiat terhadap-Mu. Ya Allah, demi kemuliaan
dan keluhuran-Mu, tunjukkanlah kami kepada jalan keridhaan-Mu dan
cegahlah kami dari segala sesuatu yang mendatangkan kemarahan dan
kemurkaan-Mu.
>
Sumber : www.the-az.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar